
Diversifikasi pangan dimaksudkan untuk memperoleh keragaman zat gizi sekaligus melepas ketergantungan masyarakat atas satu jenis pangan pokok tertentu yaitu beras. Pemerintah masih terlalu fokus pada pengembangan pangan jenis beras. Padahal, Indonesia memiliki ragam jenis pangan yang sangat berlimpah, setidaknya kita memiliki sekitar 100 jenis pangan sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, dan 450 jenis buah-buahan. Ketergantungan yang tinggi dapat memicu ketidakstabilan jika pasokan terganggu dan sebaliknya jika masyarakat menyukai pangan alternatif maka ketidakstabilan akan dapat dijaga. Apalagi di masa pandemi Covid-19 saat ini, dimana kebutuhan pangan meningkat maka menjadi momentum tepat untuk mempercepat diversifikasi pangan.
Kasryno et al. (1993) memandang diversifikasi pangan sebagai upaya yang sangat erat kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia, pembangunan pertanian di bidang pangan dan perbaikan gizi masyarakat, yang mencakup aspek produksi, konsumsi, pemasaran, dan distribusi. Hasil pertanian dan budidaya pangan suatu daerah merupakan suatu aset ekonomi, budaya dan kesehatan masyarakat. Oleh karena itu sangat tepat apabila sasaran pembangunan bidang pangan di Indonesia diantaranya adalah; terwujudnya ketahanan pangan rumah tangga, terwujudnya diversifikasi pangan serta terjamin keamanan pangan.
Masih tingginya kebutuhan beras Babel menunjukan beras masih mendominasi pola konsumsi pangan masyarakat. Padahal disamping beras Babel memiliki pangan lokal untuk dikembangkan salah satunya yakni beras aruk atau beras ubi kayu. kandungan gizi beras aruk pun cukup baik, yakni dari hasil pengujian komposisi gizi per 100 gram beras aruk mengandung antara lain 0,6 gram protein, 85,9 gram karbohidrat, dan 0,8 gram lemak.
Namun pengembangan beras aruk pun tak luput dari berbagai persoalan. Selama ini beras aruk diproduksi dan dipasarkan dengan cara tradisional menggunakan bahan-bahan alami. Hal ini menyebabkan biaya produksi dan harga jual beras aruk menjadi lebih mahal jika dibandingkan dengan harga beras pada umumnya. Selain itu, mengolah beras aruk juga membutuhkan proses yang panjang karena masih manual menggunakan tangan tanpa mesin. Kondisi ini membuat pengusaha beras aruk kesulitan untuk berproduksi dalam jumlah besar. Belum lagi konsumsi/minat terhadap nasi aruk saat ini masih terbilang rendah, sebagian besar hanya diminati oleh orang-orang tua. Padahal, keberadaan singkong yang melimpah dan harga yang murah di tingkat petani merupakan bahan baku pembuatan beras aruk. Beras aruk sendiri merupakan sumber karbohidrat non beras yang ramah dikonsumsi terutama oleh penderita diabetes (pangan.babelprov.go.id.17/9/2020).
Halaman: